Manfaatkan KUR BRI untuk Bulk Store, UMKM Gotong Royong untuk Kurangi Sampah

12 Maret 2024, 07:00 WIB
Rak bulk store Toko Nol Sampah. /Pikiran-rakyat.com/Gita Pratiwi

PR JABAR - Gaya hidup nol sampah (zero waste lifestyle) memungkinkan pelakunya mereduksi produksi sampah sehari-hari. Menerapkan gaya hidup zero waste bukan tanpa tantangan. Pelakunya mesti menahan diri dari penggunaan kemasan sekali pakai, yang sangat melekat di sarana dan prasarana sehari-hari.

Keberadaan toko kelontong curah alias bulk store, rupanya membantu lebih banyak orang menerapkan zero waste lifestyle sekaligus menjadi wadah gotong royong sesama UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Bagaimana bisa? Simak cerita yang bermula dari ruang tamu kediaman Siska Nirmala (36) di Jalan Bima, Kota Bandung, Jawa Barat ini.

Perempuan ini sudah sejak 2015 menerapkan zero waste lifestyle. Pemandangan ia membekal tas belanja kain, menenteng rantang dan wadah kosong, serta menolak penggunaan sedotan plastik menjadi lazim ditemukan jika bepergian dengannya. Namun, belum ada toko kelontong yang memenuhi kebutuhannya saat itu. Untuk kebutuhan memasak di dapur, terpaksa ia masih memproduksi sejumlah bekas kemasan saset yang sulit didaur ulang. 

Baca Juga: Kelompok Masyarakat dari 30 Kecamatan Mendorong Dandan Riza Wardana Maju Menjadi Walikota Bandung pada Pilkada

Sejumlah bahan makanan berhasil ia beli secara curah di pasar. Ia juga kerap membeli ikan segar, ayam, sayur mayur, dengan langsung dimasukkan ke wadah yang ia bawa.

“Tapi kalau mau beli merica, bumbu dapur, akan ada potensi sampah,” katanya saat ditemui Pikiran Rakyat Jabar, Senin, 4 Maret 2024.

Pada 2020, ia beroleh tambahan modal dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI sehingga mampu secara perlahan merenovasi ruang tamunya menjadi bulk store. Namun, toko kelontong yang kemudian dinamai Toko Nol Sampah itu terwujud saat pandemi Covid-19 melanda.

Saat itu, ia mengambil kucuran KUR BRI sebesar Rp25 juta dengan jangka waktu pengembalian 36 bulan. Besar bunga di bawah 7 persen yang dinilai ringan menjadi pertimbangan mendasar. “Selama tiga bulanan membangunnya. Sejak awal kan tujuannya membuka toko offline tapi karena lihat situasi (pandemi), baru September 2020 benar-benar dibuka,” ujar Siska.

Penjualan online terbatas dengan modal KUR BRI

Ia mengakui, meski saat itu sudah terdapat kunjungan ke toko dengan penerapan protokol kesehatan pandemi Covid-19, pelayanan dinilai masih kurang efektif. Siska kemudian membuat layanan pesan-antar. Layanan pengantaran oleh kurir saat itu sangat terbatas untuk wilayah Bandung Raya agar tidak menimbulkan sampah dalam pengemasan.

Bulk store menjadi titik temu gotong royong UMKM dengan pelaku gaya hidup zero waste. Pikiran-rakyat.com/Gita Pratiwi

Idealnya, pelanggan bulk store datang ke toko, bawa wadah sendiri, dan mengisi wadah sesuai kebutuhan belanja mereka. Namun, di Toko Nol Sampah, kebanyakan produk yang dijual adalah bumbu kering. Jika diberlakukan penjualan daring dan ada pengiriman ke luar kota, Siska mengkhawatirkan upayanya malah jadi percuma.

“Nanti jadi banyak kemasan sekali pakai. Kalau ada pengiriman ke luar kota, hanya untuk produk yang tidak membutuhkan packaging plastik seperti buku, tas, sikat gigi. Jadi, konsepnya online terbatas,” ucap Siska. 

Baca Juga: Petugas Dishub Kota Bandung Dianiaya, Begini Kronologisnya

Ia mempertimbangkan memprioritaskan penggunaan jasa ekspedisi yang tidak menambahkan bungkus plastik tambahan. Menjelang akhir 2021, jumlah kunjungan ke Toko Nol Sampah dicatatkan meningkat.

Siska bertutur, sejak memutuskan membuat toko, ia sudah mencanangkan bahwa tiga tahun pertama sebagai tahap edukasi dan pembangunan sistem dalam mendukung konsep toko. Pada tahun ketiga saat inilah, ia menemukan bahwa sistem telah terbentuk, seiring lebih banyak warga Bandung yang menerapkan pola zero waste.

Apalagi saat pemerintah setempat mengumumkan situasi ‘darurat sampah’, banyak warga yang kesulitan membuang sampah.

Toko Nol Sampah yang menghadirkan program sampah komunal menjadi alternatif bagi warga yang kebingungan mengolah sampah organik dari rumah mereka.

“Orang-orang bisa bawa sampahnya dan disimpan di sini untuk diolah. Kompos komunal itu kami sediakan tempat, untuk orang-orang yang ingin mengolah sampah organik tapi gak punya lahan,” ujar perempuan yang juga aktif di media sosial dengan nama Zero Waste Adventure itu.

Banyak orang akhirnya menemukan Toko Nol Sampah, berawal dari keresahan mereka akan tumpukan sampah. Tidak sedikit juga konsumen tersebut sudah lama bergaya zero waste tetapi kurang memiliki sistem pendukung. Sebagian lainnya, mengikuti tren di media sosial karena gaya hidup ini juga banyak dibicarakan dan dipraktikkan infuencer.

Kesadaran yang meningkat

Kebakaran di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti Bandung Barat menjadi salah satu pencetus status darurat sampah di Bandung. Akibatnya, masyarakat kesulitan mengirim sampah ke pembuangan akhir. Darurat sampah bukan tidak mungkin terulang jika masyarakat tidak biasa mengolah sendiri sampah yang dihasilkan atau mengurangi produksinya.

Dinukil dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung 2023, produksi sampah di kota ini terus naik. Beban sampah yang diangkut truk sampah di Bandung mencapai 1.594,18 ton per hari pada 2022, naik dari 1.430,04 ton per hari pada 2021.

Darurat sampah Kota Bandung diperpanjang sampai 26 Desember 2023, dijajagi pembuangan ke TPA Cibeureum Sumedang. Antara Foto/Raisan Al Farisi

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) merilis data dari Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS), bahwa beban TPA Sarimukti sudah sangat berlebih, dengan sampah menggunung 700 persen melebihi kapasitasnya. Sumber sampah itu dari Kota Bandung yakni 68-73 persen.

Zero waste lifestyle menjadi pilihan yang paling dekat yang bisa kita--sebagai individu--lakukan, di lingkungan terkecil, dalam mencegah situasi darurat ini terulang. Gerakan nol sampah sama sekali bukan aliran baru. Hal ini sesuai amanat Undang-undang (UU) Sampah Nomor 18 tahun 2008 yang menekankan penghematan sumber daya, menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), penghematan energi, dan meminimalkan pencemaran lingkungan.

Bagi mereka yang berdomisili di Bandung, keberadaan bulk store kini semakin banyak. Selain toko milik Siska, warga bisa berkunjung ke Toko Organis YPBB di Komplek Delima, Cikutra, untuk membeli ragam produk kebersihan rumah tangga secara curah.

Baca Juga: Fenomenal Elita Budiati Orang Subang Pertama kali dan Satu-Satunya yang Lolos ke DPR RI

Ada juga Centana di Jalan Ranggamalela, Tamansari, yang menyediakan kebutuhan perawatan wajah dan tubuh. Salah satu pelanggan bulk store yang diwawancara Pikiran Rakyat Jabar, Senin, 11 Maret 2024, Dzakiyyah Junaidi, mengaku pengeluarannya jauh lebih sedikit, dibandingkan dengan belanja konvensional.

“Lebih murah, tidak usah repot buang sampah kemasan atau milah-milah lagi, dan tinggal isi ulang,” kata dia, yang mengandalkan kelontong curah untuk memenuhi kebutuhan dapur dan sanitasi rumah. 

Ia tidak memungkiri, keberadaan bulk store masih sangat minim, dan cukup jauh dijangkau dari kediamannya di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Namun, ia berharap masyarakat tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belanja di warung curah di sekitarnya. Jika tidak memungkinkan karena terkendala jarak, katanya, mulailah dengan cara membawa kemasan isi ulang saat belanja di pasar tradisional.

Gotong royong UMKM

Mekanisme bulk store turut mengedukasi produsen melalui pemesanan barang yang sudah diupayakan sedemikian rupa tanpa kemasan sekali pakai dan berkelanjutan.

“Memang kadang masih ada kemasannya tapi kami pesan yang bulk. Kemasan 1-5 kg bumbu misalnya. Jadi, penggunaan kemasan plastiknya akan berhenti di toko, bukan di konsumen,” ucap Siska.

Makanya, penyedia barang di bulk store lebih banyak adalah sesama UMKM. Menurut dia, kalau produk industri atau supplier partai besar, diakui lebih sulit menghindari kemasan sekali pakai alias disposable package. 

“UMKM juga lebih terbuka untuk kerja sama dibandingkan produsen besar. Mereka ingin menjual produknya secara curah tapi bingung di mana. Dengan adanya bulk store, produsen punya wadah menyalurkan produknya, konsumen punya wadah untuk menemukan produk tanpa kemasan,” katanya.

Adanya UMKM yang peduli lingkungan melalui kegiatan ekonomi ini, memperoleh apresiasi dari BRI RO Bandung.  Dikonfirmasi terpisah, Sadmiadi, RCEO BRI Bandung, menyatakan ini sebagai salah satu wujud nyata dukungan BRI terhadap kelestarian lingkungan.

Sadmiadi juga menyatakan bahwa dalam enam tahun terakhir BRI Regional Office Bandung telah menyalurkan pinjaman KUR kepada 3,9 juta nasabah. 

“Total nominal yang disalurkan yakni Rp102 triliun untuk Jawa Barat wilayah kerja BRI Regional Office Bandung,” kata Sadmiadi. Selain melalui KUR, ia menyatakan bahwa BRI terus melakukan upaya untuk mendukung UMKM naik kelas, dengan sedikitnya tujuh program 

Pertama dengan membina Klaster Usaha yaitu community approach, kemudian  Program Desa

Brilian, Pojok Mantri Desa, LinkUMKM, Sinergi Ultra Holding Mikro, Rumah BUMN hingga pemberdayaan UMKM dan masyarakat melalui CSR.***

Editor: Gita Pratiwi

Tags

Terkini

Terpopuler