PR JABAR – Gimmick dimulai dari temaram lampu parcan yang menyoroti arena panggung seluas 50meter X 20meter. Layar putih yang di sorot lampu laser memperlihatkan slide-slide foto manusia yang tangannya terikat tali dengan mulut tertutup lakban.
Dalam kondisi berada dalam terali besi sel penjara menambah suasana sungguh mencekam. Hingga beberapa saat kemudian munculah para penari dari sisi kiri dan kanan panggung mengenakan kebaya dan berbalut ornamen kain merah.
Adegan pertama menceritakan kehidupan orang-orang pedesaan yang perekonomiannya sangat lemah. Adegan kedua menceritakan kedatangan orang-orang yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengajak masyarakat desa bekerja di suatu tempat, namun dibohongi.
Mereka diperjualbelikan, diperkerjakan tanpa di bayar, dan bekerja ditempat prostitusi. Adegan ketiga menceritakan penderitaan yang dilakukan korban Human Trafficking dengan simbol penjara, tali yang terikat dan lecutan cemeti dari para pelaku ‘Human Trafficking’.
Adegan akhir adalah sebuah harapan para korban Human Trafficking untuk bebas dari belenggu. Adegan ini ditulis dalam sebuah lagu karya Enry Johan Jaohari, M.Pd. berjudul “Rays of Resilience” yang dinyanyikan oleh Tasya Aviola Rashinta.
Adapun koreografi dibuat secara kolosal dengan menonjolkan garis-garis tegas yang menyimbolkan tekad para korban Human Trafficking untuk keluar dari belenggu penderitaan.
Aspek dasar koreografi kelompok dikembangkan sesuai konteks adegan dengan gerak simultan, canon, alternate, broken dan balance. Properti tali dan bentuk persegi panjang yang menyerupai penjara sangat ikonik dan menjadi penguat suasana penderitaan para korban Human Trafficking.
Baca Juga: 5 Alasan Harus Nonton Queen of Tears, Hingga Ending Dramanya yang Sangat Dinantikan Para Penggemar
Tarian kolosal ‘Human Trafficking’merupakan karya Dr. Ayo Sunaryo, M.Pd, dengan koreografer Galih Mahara yang dibantu Egi Rifaldi, M.Pd., R. Angga Gusmawan Sukma, S.Pd., Rizky Haeruman, S.Pd., dan Dilan Ardiansyah yang bertindak sebagai co-koreografer.