Peran legislatif dalam sistem pemerintahan, ujar Kang Ace, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20 (ayat 1) Undang-Undang Dasar. Sedangkan presiden berdasarkan Pasal 4 ayat 1, memegang kekuasaan pemerintahan atau eksekutif.
Sementara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memegang kekuasaan kehamkiman yang merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
"Pada masa Orba, kekuasaan yudikatif di bawah supremasi eksekutif, Kementerian Kehakiman. Sehingga, presidjen bisa dengan mudah mengangkat hakim agung dan jika tidak sesuai selera presiden bisa diganti," ujarnya.
Saat ini, tutur Kang Ace, kekuasaan yudikatif telah terpisah. Era reformasi telah memberikan warna tersendiri bagi masing-masing cabang kekuasaan di Indonesia. "Prinsip utamanya adalah check and balances," tutur Kang Ace.
Persetujuan DPR
Kang Ace juga menjelaskan tentang kekuasaan presiden sebagai pemegang pemimpin eksekutif atau pemerintahan. Presiden dapat memutuskan menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain dan internasional lainnya.
Kemudian, menyatakan keadaaan bahaya, mengangkat dan menerima duta besar, memberi grasi dan rehabilitas, serta amnesti dan abolisi. Kemudian, memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
"Semua kekuasaan presiden selaku eksekutif itu harus melalui persetujuan DPR. Sedangkan untuk memberi grasi dan rehabilitas, presiden harus memperhatikan pertimbangan MA," ucap Kang Ace.
Reformasi, ujar dia, memberikan kejelasan tentang periodesasi jabatan presiden. Maka, secara tegas dalam UUD 1945 mengatur, presiden hanya boleh memimpin selama dua periode melalui pemilu.
"Dulu pada zaman Orba atau sebelumnya Orde Lama, kenapa bisa presiden tidak diganti-ganti. Karena UUD tidak mengatur secara tegas periodesasi seorang presiden. Saat itu, presiden dipilih oleh DPR dalam jabatan 5 tahun dan bisa dipilih kembali. Makanya, Soeharto bisa menjadi presiden selama 32 tahun," ujarnya.