Kepresidenan Prabowo: Babak Baru dalam Hubungan Indonesia-China atau Bisnis Seperti Biasa?

- 18 Februari 2024, 22:21 WIB
Prabowo Subianto bersama dengan Dubes China di Kertanegara
Prabowo Subianto bersama dengan Dubes China di Kertanegara /X/@Prabowo



PR JABAR - Dengan terpilihnya Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia berikutnya, masih ada pertanyaan apakah ia akan melanjutkan kebijakan-kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang berkuasa atau membawa Indonesia ke arah yang baru.

Demikian dilaporkan media online asal Hong Kong China SCMP, Minggu 18 Februari 2024.

Disebutkan, meski pesaing Jokowi ini belum mengartikulasikan secara ekstensif tentang cetak biru ekonomi dan sosial Indonesia, ia telah mengisyaratkan sebuah kebijakan luar negeri yang lebih tegas yang berpusat pada posisi Indonesia di panggung dunia.

Prabowo adalah "wild card" dan dunia harus bersiap-siap untuk "beberapa kejutan" dari pemerintahannya, menurut Alexander R. Arifianto, peneliti senior di Indonesia Programme di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS).

Berdasarkan hasil penghitungan cepat, Prabowo, bersama dengan pasangannya, putra sulung Jokowi, Gibran Raka Rakabuming, memperoleh sekitar 58% suara dalam pemilihan umum hari Rabu. Jika hasil resmi mencerminkan hasil penghitungan cepat - yang telah menjadi tren historis - ini berarti Prabowo dengan mudah mengalahkan dua rivalnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Dalam pidato kemenangannya di hadapan para pendukungnya pada Rabu malam, Prabowo mengatakan, "Semua lembaga survei, termasuk lembaga yang berpihak pada pasangan calon lain, menunjukkan angka bahwa pasangan Prabowo-Gibran menang dalam satu putaran."

"Saya dan Gibran mengatakan, meskipun kami bersyukur, kami tidak boleh sombong. Kita tidak boleh sombong. Kita tidak boleh euforia. Kita harus tetap rendah hati, kemenangan ini harus menjadi kemenangan seluruh rakyat Indonesia."

Ini adalah kampanye ketiga bagi pria berusia 72 tahun ini untuk memimpin Indonesia setelah kalah dalam dua kali pemilihan presiden yang sengit pada tahun 2014 dan 2019, yang keduanya dimenangkan oleh Jokowi. Namun, presiden tetap menunjuk Prabowo sebagai menteri pertahanannya pada tahun 2020.

Selama kampanye saat ini, Prabowo memilih Gibran sebagai pasangannya sebagai tanda kepada para pemilih bahwa ia akan mempertahankan kebijakan-kebijakan Jokowi yang populer jika ia berhasil meraih jabatan tertinggi.

Dengan dukungan diam-diam dari presiden terhadap pasangan ini, Prabowo unggul dari para pesaingnya dalam jajak pendapat sebelum pemilihan, membuatnya menjadi kandidat yang paling diunggulkan untuk memenangkan pemilihan.

Arya Fernandes, kepala departemen politik di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, mengatakan bahwa ada peluang yang sangat kuat bahwa Prabowo akan meneruskan kebijakan-kebijakan Jokowi.

"Namun, sulit juga untuk mengatakannya. Dia mungkin akan pergi ke arah lain," tambahnya.

Karier yang agresif

Jika terpilih, pencalonan Prabowo sebagai presiden akan menandai puncak dari karir militer dan politiknya yang telah berlangsung selama lebih dari 50 tahun.

Setelah lulus dari Akademi Militer Indonesia pada tahun 1970, Prabowo bertugas di Pasukan Khusus (Kopassus) sebelum akhirnya ditunjuk untuk memimpin Komando Cadangan Strategis (Kostrad) pada tahun 1998.

Pada tahun yang sama, terjadi pula krisis ekonomi dan politik yang membuat mertua Prabowo, Presiden Suharto, mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Pada saat kerusuhan yang memicu penggulingan Suharto, pasukan di bawah komando Prabowo menculik dan menyiksa setidaknya sembilan aktivis demokrasi. Prabowo mengakui bertanggung jawab atas insiden tersebut dan diberhentikan secara tidak hormat dari militer.

Dia dilarang masuk ke Amerika Serikat selama beberapa dekade karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kejahatan militer yang dilakukan selama pendudukan Timor Timur, namun sanksi tersebut dicabut setelah Jokowi menunjuknya sebagai menteri pertahanan.

Setelah karir militernya, Prabowo berfokus pada politik, membentuk Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada tahun 2008. Ia mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden untuk ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri pada tahun 2009 dan dikalahkan oleh presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono.

Selama kampanye presiden tahun 2014 dan 2019 melawan Jokowi, Prabowo menggambarkan dirinya sebagai seorang militer yang kuat melalui pidato-pidato berapi-api yang penuh dengan retorika nasionalis.

Dia awalnya menolak untuk mengakui kekalahan setelah pemungutan suara 2019, bersikeras bahwa hasil penghitungan oleh timnya menunjukkan bahwa dia menang. Hal ini menyebabkan para pendukungnya menuduh bahwa jajak pendapat telah dicurangi, yang berujung pada kerusuhan di Jakarta, di mana delapan orang kehilangan nyawa mereka. Prabowo akhirnya mengalah setelah Mahkamah Agung menolak permohonan bandingnya terhadap hasil pemilu.

Namun, menjelang pemilihan hari Rabu, Prabowo mengambil pendekatan yang sangat berbeda, dengan tim kampanyenya yang lebih menggambarkan dirinya sebagai seorang kakek yang menggemaskan, lengkap dengan video TikTok yang viral yang memamerkan gerakan tariannya yang canggung untuk merayu para pemilih muda.

Daya tarik Prabowo dalam pemilu kali ini lebih dari sekadar aliansinya dengan Jokowi. Arya dari CSIS mengatakan sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga think tank-nya pada bulan Desember menemukan bahwa masyarakat Indonesia semakin mencari pemimpin yang kuat dan tegas.

"Ini adalah bagian dari tren yang kita lihat di seluruh dunia, dan tampaknya juga terjadi di Indonesia. Prabowo terlihat sebagai sosok pemimpin yang kuat," katanya.

Agenda nasionalis Prabowo?

Meskipun sebagian besar pemilihnya tampaknya memiliki keinginan agar Prabowo mempertahankan kebijakan-kebijakan Jokowi, ia telah mengisyaratkan bahwa ia dapat mengambil pendekatan yang lebih nasionalis dalam urusan luar negeri daripada pendahulunya.

Manifesto pemilihan Prabowo menunjukkan bahwa mantan jenderal ini akan berfokus untuk mengubah Indonesia menjadi "negara yang kuat". Menurut manifesto tersebut, Indonesia akan menjadi sebuah negara yang "dihormati dalam hubungan internasional" dan negara yang memiliki "pertahanan dan keamanan yang dikelola dengan baik yang dapat melindungi bangsa dan memastikan perdamaian di wilayahnya".

Arifianto dari RSIS mengatakan bahwa dengan latar belakang militer Prabowo, tidak mengherankan jika ia bercita-cita untuk membuat Indonesia kuat tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara militer.

"Dia mungkin akan terus berusaha untuk meningkatkan belanja pertahanan Indonesia, untuk membuat militer Indonesia menjadi salah satu angkatan bersenjata terbesar di kawasan ini. Apakah negara-negara lain di kawasan ini akan menanggapi hal ini dengan baik, masih menjadi pertanyaan besar," tambah Arifianto.

Prabowo juga mengindikasikan bahwa ia siap untuk bersikap tegas dalam berurusan dengan negara-negara Barat. Dalam sebuah ceramah mengenai kebijakan luar negeri di CSIS Indonesia pada bulan November, Prabowo mengatakan bahwa Eropa telah kehilangan "kepemimpinan moral".

"Barat mengajarkan kita demokrasi, hak asasi manusia... tetapi Barat memiliki standar yang berbeda... Ada pergeseran di dunia. Sekarang kita tidak membutuhkan Eropa lagi."

Ia juga menuduh Uni Eropa melakukan perlakuan yang "tidak adil" atas tarif-tarif yang dikenakan terhadap ekspor Indonesia seperti minyak kelapa sawit.

Ketika ditanya apakah Indonesia akan berpihak pada China atau AS dalam persaingan mereka, Prabowo menekankan "netralitas" Jakarta. Ia mengatakan bahwa ia menghormati AS atas kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia dan juga kontribusi China terhadap perekonomian Indonesia.

Sana Jaffrey, seorang peneliti di Australian National University yang berspesialisasi dalam politik Indonesia, mengatakan bahwa meskipun Prabowo telah membuat beberapa "pernyataan anti-asing dan sangat nasionalis" selama masa kampanye, ia juga "mendengar bahwa ia telah memberikan jaminan kepada para diplomat asing secara pribadi bahwa ia tidak akan bersikap tidak bersahabat terhadap orang asing, bahwa ia sangat terbuka terhadap investasi, dan bahwa ia akan menjalin hubungan yang baik."

"Jadi saya pikir apa yang mungkin kita lihat di publik lebih untuk meningkatkan citranya sebagai seorang nasionalis, dan itu adalah bagian dari mereknya. Namun, dari apa yang kami dengar, dia mengatakan hal-hal yang berbeda secara pribadi," tambah Jaffrey.
Rintangan legislatif

Terlepas dari agendanya, Prabowo diperkirakan akan sibuk pada awalnya dengan membangun mitra koalisinya untuk sebuah pemerintahan dan meminta dukungan untuk kebijakan-kebijakannya.

Jokowi berhasil membangun sebuah koalisi besar yang memberinya kemampuan untuk meloloskan kebijakan-kebijakannya yang paling ambisius, termasuk rencana senilai US$32 miliar untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta yang macet ke sebuah kota baru di Kalimantan Timur.

Namun, koalisi Jokowi dimungkinkan sebagian besar karena afiliasinya dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa. Dengan mendukung Prabowo dan bukannya kandidat PDI-P sendiri dalam pemilihan hari Rabu, mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Jokowi mungkin telah mengasingkan sebuah segmen penting di parlemen untuk Prabowo.

"Sulit untuk melihat PDI-P bergabung dengan kabinet Prabowo, jadi Anda mungkin akan mendapatkan seorang presiden yang sangat personal dalam hal kekuasaan, dalam hal bagaimana ia menangani kebijakan," ujar Noory Okthariza, seorang peneliti politik dari CSIS.

"Pada saat yang sama, Anda juga memiliki kelompok oposisi yang cukup kuat yang mungkin terdiri dari partai-partai yang berbeda, berlawanan dengan masa Jokowi, di mana hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi oposisi," tambah Noory, merujuk pada partai berbasis Islam konservatif yang sering menentang agenda Jokowi.

Noory mengatakan PDI-P mungkin akan bergabung dengan PKS sebagai oposisi, bersama dengan beberapa fraksi lain termasuk Partai NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai berbasis Islam lainnya, yang dapat menciptakan tantangan yang lebih serius terhadap prioritas legislatif Prabowo.

Dengan ketidakpastian bagaimana partai-partai tersebut akan menyelaraskan diri setelah pemungutan suara, satu-satunya hal yang jelas, menurut para pengamat, adalah bahwa kepresidenan Prabowo masih belum dapat diprediksi untuk saat ini.***

Editor: H. D. Aditya

Sumber: SCMP


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah