Kesultanan Banten Musnahkan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran: Kalah Perang! Keluarga Keraton Melarikan Diri

27 Desember 2023, 13:57 WIB
Ilustrasi Peperangan Era Kerajaan Hindu /Rublik Depok/

PR JABAR - Sebelumnya kita telah membahas bagaimana Prabu Geusan Ulun mendapatkan kekuasaan yang besar karena diestafetkan dari kekuasaan Pajajaran, setelah Kerajaan Pakuan Pajajaran ini lenyap hancur lebur diserbu Kesultanan Banten dan Raja mereka melarikan diri, sehingga secara otomatis Pakuan Pajajaran tidak memiliki pemerintahan. 

Lantas bagaimana kisah runtuhnya Kerajaan Pakuan Pajajaran ini? sehingga harus meneruskan tampuk kekuasaan ke Sumedang Larang yang dipimpin Geusan Ulun.

Penggalan Kisah Penyerahan Mahkota Pajajaran ke Geusan Ulun Raja Sumedang Larang, Baca Juga: Perang Cirebon Vs Sumedang Larang, Cinta Segitiga: Geusan Ulun, Haribaya dan Panembahan Ratu

Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di Jawa Barat. Kerajaan Pajajaran dulunya berpusat di Pakuan (sekarang Bogor) yang juga kerap disebut sebagai Negeri Sunda, Pasundan, atau Pakuan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran didirikan pada 923 M dan runtuh pada 1579 M. Kerajaan Pajajaran berhasil mencapai masa emasnya di bawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi yang berkuasa sejak 1482 hingga 1521. Lantas, apa penyebab runtuhnya Kerajaan Pajajaran?

Prabu Siliwangi, Raja yang Terkenal dari Kerajaan Pajajaran Diserang Kesultanan Banten Penyebab runtuhnya Kerajaan Pajajaran adalah adanya serangan dari kerajaan Sunda yang lain, yaitu Kesultanan Banten. Pada masa itu, Kesultanan Banten sedang dipimpin oleh Maulana Yusuf yang melakukan penyebaran agama Islam melalui penaklukkan.

Salah satu kerajaan yang menjadi target Maulana Yusuf untuk diruntuhkan adalah Pajajaran karena perbedaan pengaruh politik. Di samping itu, alasan Kesultanan Banten menyerang Kerajaan Pajajaran karena lokasinya yang berbatasan langsung dengan wilayah Kerajaan Pajajaran, di mana kedua kerajaan itu memiliki perbedaan pandangan dan kepercayaan.

Kondisi ini lantas membuat Kesultanan Banten khawatir kekuasaannya akan direbut oleh Kerajaan Pajajaran. Oleh sebab itu, Kesultanan Banten memutuskan untuk menyerang Kerajaan Pajajaran. Terlebih, Kerajaan Pajajaran terletak di Pakuan, sehingga daerahnya juga ikut terserang oleh Kesultanan Banten.

Sebelum berhasil menaklukkan dan melemahkan kerajaan Pajajaran, Banten berkali-kali merencanakan penyerangan. Tercatat, Banten melakukan tiga kali upaya untuk menguasai kerajaan Pajajaran

Terkait dengan Kesultanan Banten, merupakan bagian dari koalisi Kesultanan Demak dan Cirebon. Dimana Banten berhasil dikuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon, atas arahan Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten Girang dipindahkan dari pedalaman ke dekat pelabuhan Banten.

Terakhir, Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam di Pulau Jawa yang selalu saling mendukung dengan Demak dan Cirebon.  Di sisi lain, berdirinya Kerajaan Banten menyebabkan Kerajaan Pajajaran semakin terganggu

'Pajajaran Tak Memiliki kedekatan Dengan Banten, Apalagi Banten Sebelumnya Merupakan Daerah Kekuasan Pajajaran'  Buku Hitam Putih Pajajaran: "Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran" (Fery Taufiq El Jaquenne)

Masih ada keinginan kembali dari Pajajaran untuk menguasai Banten lagi. Saat itu Pajajaran dipimpin oleh Surawisesa, pasca rajanya Prabu Siliwangi mangkat. Di saat itulah, beberapa kali terjadi pergolakan di wilayah - wilayah kerajaan kecil di sekitar Pakuan yang awalnya kerajaan bawahan. Tetapi oleh Surawisesa berhasil ditangani dengan susah payah.

Di sisi lain Banten begitu mempersiapkan dirinya untuk menyerang Pajajaran, pasukan sudah dilatih sedemikian rupa untuk menghadapi serangan sewaktu-waktu. Bahkan serangan Banten ke ibu kota Pakuan benar-benar dilakukan. Tetapi kuatnya benteng pertahanan Pajajaran yang dibangun sejak Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi membuat pasukan Banten kembali dan mundur.

Tetapi serangan itu menyisakan duka bagi Kerajaan Pajajaran yang saat itu dipimpin oleh Ratu Dewata, pasca raja Surawisesa mangkat. Sebab dua punggawa terkenal dan disegani di Pajajaran yakni Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang gugur di medan peperangan.

Perlahan tapi pasti, dukungan kerajaan kecil di bawah kekuasaan Pajajaran mulai hilang. Hal ini menjadi kesempatan lagi bagi Banten untuk kembali menyerang Pakuan. Apalagi ini diperkuat saat raja sudah dihiraukan lagi oleh masyarakat sebab tidak ada kepedulian dalam menyejahterakan rakyatnya.

Catatan sejarah menuliskan ada tiga kali gelombang serangan Banten ke Pakuan, ibu kota Pajajaran. Serangan ini dilakukan saat masa pemerintahan Ratu Dewata, atau setelah Surawisesa lengser. Diperkirakan dari catatan sejarah serangan ini terjadi sekitar 1535 Masehi hingga 1543 Masehi yang membuat dua punggawa kerajaan gugur.

Serangan kedua terjadi saat pemerintahan Prabu Nilakendra sekitar tahun 1551 Masehi hingga 1567 Masehi. Dimana dikisahkan dalam suatu naskah "Alah prengrang mangka tan nitih ring kadat-wan" yang artinya kalah perang, karena itu tidak tinggal di keraton. Dimana saat itu berkat serangan dari pasukan Banten, Raja Nilakendra terpaksa melarikan diri dari istana ke sebuah wilayah di Sukabumi selatan.

Adapun serangan ketiga yang dinilai benar-benar membuat riwayat Kerajaan Pajajaran tamat saat Pajajaran dipimpin oleh Ragamulya. Dimana ia merupakan raja terakhir dari Pajajaran yang memerintah sekitar tahun 1567 hingga 1579 Masehi. Namun ia memindahkan pusat pemerintahan ke Pulasari, Pandeglang, bukan lagi di ibu kota Pakuan Pajajaran, yang berhasil dihancurkan Banten di serangan keduanya.

Tetapi pada akhirnya serangan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten membuat Kerajaan Pajajaran benar-benar luluh lantak. Sang Raja Prabu Ragamulya Suryakancana berhasil dibunuh oleh prajurit Banten di Pulasari, Pandeglang.

Kondisi Sosial Di Pajajaran Sebelum Dimusnahkan Kesultanan Banten

Tidak Menjamin Keamanan dan Kesejahteraan Rakyat

Nilakendra ini Pajajaran mulai membangun sejumlah infrastruktur secara fisik demi menarik pandangan mata. Terkenal tidak terlalu menjamin keamanan rakyatnya, terkenal taman tidak menangal. Sejumah taman direkonstruksi ulang dengan memiliki 17 buah tiang 17. Tembok - tembok istana dengan ukiran bermacam-macam terpampang, tak ketinggalan keraton juga direkonstruksi ulang..

Pembangunan fisik yang dilakukan Nilakendra tak diimbangi dengan pembangunan spiritual dan kepastian keamanan. Padahal jika ia belajar dari sejarah, seharusnya Nilakendra tahu bahwa Pajajaran mengalami kemerosotan signifikan, salah satunya karena faktor keamanan. Pasca Prabu Siliwangi memerintah, wilayah Pajajaran semakin sering diganggu keamanannya oleh musuh.

Bahkan di masa zaman Nilakendra, musuh - musuh sudah mulai mendekat ke dalam keraton. Masyarakat Sunda sudah banyak yang membangkang, mulai pemerintahan, pemuka agama, hingga raja mereka di daerah kekuasaan Pajajaran.

Parahnya di masa Nilakendra, Pakuan tidak memperhatikan lagi keadaan masyarakat. Prinsip "nyatu tampa ponyo, nginum twak tamba hanaang" atau makan sekadar lapar, minum menghilangkan dahaga, sudah tidak lagi ada. Namun yang justru, "wong huma darpa mamangan, Tan igar yan yan pepelekan" yang berarti para petani merasa kurang makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu.

Di masa pemerintahan Nilakendra, ditemukan banyak rakyat mulai frustasi. Mereka takut sewaktu-waktu ada musuh datang menyerang, sedangkan kerajaan tidak pernah memperhatikan keadaan rakyat.

Penguasa Bertabiat Buruk

Pajajaran pernah pernah diperintah oleh seorang raja yang memiliki tabiat sangat buruk. Raja bernama Ratu Sakti memerintah pasca Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, Surawisesa dan Ratu Dewata. Ia dikenal oleh rakyat sebagai raja temperamental

Pelanggaran Ratu Sakti yang dilakukukan diceritakan cukup banyak. Bahkan ia sengaja menikahi istri ayahnya sendiri, membunuh orang tanpa dosa, merampas harta harta orang-orang kecil, tidak berbakti kepada orang tua dan pemuka agama.

Kejahatan yang semakin merajalela, diperparah dengan kelaparan di mana-mana. Sehingga banyak masyarakat memberontak terhadap kerajaan sendiri. Padahal perilaku tersebut tidak pernah direstui oleh ajaran agama. Ratu Sakti lebih memilih meniti hidupnya dengan kehidupan egois, semena-mena.

Penghianatan Pajajaran Dan Kemenangan Banten

Kuatnya benteng pertahanan Kerajaan Pajajaran dikabarkan membuat Kasultanan Banten memerlukan waktu cukup lama menaklukannya. Kerajaan Pajajaran saat diperintah oleh Prabu Nilakendra mendapatkan serangan dari Banten. Saat itu Banten yang merupakan daerah kekuasaan di bawah Kerajaan Pajajaran dipimpin oleh Maulana Yusuf.

Serangan dari Banten ini membuat Raja Nilakendra harus mengungsi dari Istana Kerajaan. Nilakendra bersama rombongan dan pengiringnya melarikan diri dari istana menuju sebuah daerah di Sukabumi Selatan. Sementara di ibu kota Kerajaan Pajajaran, Pakuan pasukan Banten mencoba memasuki kokohnya benteng pertahanan. Serat Banten menyebutkan adanya pemberangkatan pasukan Banten ketika menyerang Pakuan, ibu kota Pajajaran.

Setibanya di Pakuan, Kesultanan Banten mampu menguasai Pajajaran dengan waktu singkat. Tetapi sebenarnya Banten kesulitan betul menembus benteng pertahanan kendati hampir seluruh petinggi Kerajaan Pajajaran sudah mengungsi.

Tetapi Banten memiliki orang dalam bernama Ki Jonggo, salah seorang pejabat penting di istana yang menjadi komandan pasukan pengawal Kerajaan Pajajaran.

Ki Jonggo masih ada hubungan darah dari salah satu komandan pasukan Banten. Ia yang sebenarnya diperintahkan menjaga keamanan istana dan benteng pertahanan yang akhirnya membukakan pintu gerbang benteng pertahanan.

Tetapi perihal pasukan Banten yang melakukan serangan ke kawasan Pakuan, Banten perlu merencanakan waktu cukup lama yakni sembilan tahun. Selama sembilan tahun itulah taktik, strategi, pasukan, dan peralatan disiapkan Kesultanan Banten menyerang Pajajaran. Hal ini setelah sebelumnya beberapa wilayah yang menjadi kekuasaan Pajajaran terlebih dahulu dikuasai.

Penyerangan ini didasari pada keinginan Maulana Yusuf untuk turut menyebarkan agama Islam ke daerah pedalaman Banten. Sehingga sejak saat itu, Jawa Barat dikenal oleh banyak orang sebagai daerah penyebaran agama baru. Perihal penyerangan Banten ke Pajajaran, ini bukan merupakan penyerangan biasa, melainkan serangan total ke segala lini Pakuan, dan melumpuhkan segala bidangnya.

 Pasca serangan Banten dan larinya Raja Nilakendra kian mempersulit posisi Pajajaran dan semakin memperburuk kondisinya. Pada sebuah sumber Cirebon, dikisahkan Kerajaan Pajajaran lenyap dari permukaan bumi pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 saka, berarti bertepatan tanggal 11 Rabiul Awal 987 hijriah atau 8 Mei 1579 Masehi.

Setelah Pajajaran berhasil ditaklukkan, raja sekaligus keluarganya pun menghilang. Setelah itu, para golongan bangsawan Sunda memutuskan meninggalkan kepercayaan lama mereka dan memeluk agama Islam sesuai harapan Maulana Yusuf. Sejak saat itu, keberadaan Kerajaan Pajajaran sudah tidak pernah terlihat lagi alias menghilang. Kerajaan Pajajaran resmi runtuh pada 1579 M

Sisa-sisa bangsawan yang ada menyerahkan simbol kerajaan Pajajaran ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rajanya Prabu Geusan Ulun, Bangsawa Pajajaran menyerahkan simbol kekuasaan Pajajaran kepada Sumedang Larang karena dinilai masih memiliki kongsi politik dibawah Kesultanan Mataram dan juga masih Kerajaan yang berentitas Sunda.

Ayah dari Geursan Ulun, Penyebar Islam di Sumedang Larang, Baca Juga: Sejarah Pangeran Santri dan Islam di Sumedang, Meluasnya Islam dari Sumedanglarang ke Seluruh Tatar Sunda

Dengan peristiwa tersebut wilayah kekuasaan Pajajaran yang tersisa menjadi wilayah kekuasaan Sumedang Larang dan Prabu Geusan Ulun menjadi raja daerah atau mandala dari Kerajaan Sumedang Larang, ia juga mendapat gelar jabatan Nalendra dari Kerajaan Sunda

***

Editor: Iswahyudi

Sumber: Hitam Putih Pajajaran (Fery Taufiq El Jaquenne)

Tags

Terkini

Terpopuler